
Waduk Ir. H. Djuanda atau lebih populer disebut sebagai Waduk Jatiluhur merupakan salah satu waduk serbaguna dengan fungsi utama sebagai pembangkit listrik tenaga air, bahan baku air minum, irigasi, dan pencegah banjir. Kawasan perairan waduk tersebut juga berperan sebagai wadah bagi usaha perikanan budidaya, terutama budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA). Keberadaan KJA telah menghidupkan aktivitas ekonomi perikanan di sekitar Waduk Jatiluhur sehingga turut berkontribusi dalam pencapaian target produksi perikanan budidaya, baik di tingkat Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat maupun target di tingkat nasional.
Usaha budidaya ikan di KJA di Waduk Jatiluhur setiap tahun selalu mengalami permasalahan yang sama, yaitu fenomena kematian massal yang umumnya lebih banyak disebabkan oleh umbalan atau upwelling. Umbalan adalah proses pembalikan air (turn over) dari lapisan air di atas ke bawah dan sebaliknya yang biasanya dipicu oleh curah hujan yang tinggi selama beberapa hari. Lapisan air di atas karena adanya masukan dari air hujan menyebabkan berat jenisnya meningkat sehingga terjadi arus balik secara vertikal ke bawah. Namun sayangnya, lapisan air di dasar waduk yang naik ke atas biasanya mengandung kadar oksigen terlarut (DO) yang rendah, bahkan nol disertai dengan adanya zat-zat toksik seperti H2S, amoniak dan lain-lain sehingga jika umbalan terjadi tentunya ikan-ikan yang sedang dibudidayakan relatif tidak bisa bertahan dan mati karena kekurangan oksigen dan paparan zat toksik.
Kejadian kematian massal ikan di Waduk Jatiluhur umum terjadi setiap tahun sejak tahun 1991 dan pada bulan Januari 2021 terjadi kembali peristiwa tersebut. Kejadian kematian massal pada awal tahun 2021 dimulai sejak sekitar tanggal 27 Januari 2021 yang saat itu masih bersifat sporadis, terutama di zona dekat Serpis dan zona inlet Sungai Citarum. Namun, kejadian tersebut semakin meluas hingga ke beberapa zona lainnya pada tanggal 31 Januari 2021. Kejadian tersebut dipicu oleh kondisi cuaca yang mendung dan hujan setiap hari sejak satu minggu sebelumnya sehingga sudah diprediksi berpotensi terjadi umbalan yang akan berdampak pada kematian massal ikan di KJA.
Kejadian kematian massal ikan pada tanggal 31 Januari 2021 terjadi hampir di sebagian besar titik di Waduk Jatiluhur, terutama di daerah Citerbang, Madang, Pasir Laya, Pasir Kole, Curug Apu, Leuwi Bolang, Gunung Buleud/Astap, Ancol, Cilangohar, Desa Cibinong, Desa Jatimekar dan Desa Kembang Kuning. Komoditas ikan budidaya yang terdampak kematian massal adalah ikan mas (Cyprinus carpio) sekitar 85% dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan mas relatif lebih rentan terdampak terhadap umbalan karena ikan tersebut tidak dapat beradaptasi dengan kondisi kadar DO yang rendah. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purwakarta, data jumlah kematian ikan KJA sejak tanggal 29 – 31 Januari 2021 sekitar 80,5 ton dengan estimasi kerugian sebesar Rp 2,8 milyar. Jumlah kematian massal ikan di KJA hampir sama dengan yang terjadi pada bulan Desember 2020 dengan total kematian sekitar 100 ton. Besarnya kerugian tersebut dihitung dari harga ikan dan harga pakan yang telah digunakan dalam pengusahaan budidaya ikan di KJA.
Tim BRPSDI pada tanggal 1 Februari 2021 berusaha untuk melakukan pengecekan ke beberapa titik di Waduk Jatiluhur pasca kematian massal ikan (Gambar 1). Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa fenomena kematian massal masih terjadi pada beberapa titik seperti di Tegal Laja, Citerbang dan Astap.

Gambar 1. Lokasi survei kematian massal ikan KJA Waduk Jatiluhur 1 Februari 2021
Di wilayah Tegal Laja dan Citerbang, ikan-ikan mas yang mati terlihat diangkat oleh pekerja di KJA. Beberapa KJA di wilayah tersebut tampak terdapat aerasi dengan pompa untuk meningkatkan kadar DO agar ikan-ikan mas yang ada masih bisa bertahan. Bangkai ikan mas yang mati tersebut biasanya dicoba untuk dimanfaatkan kembali untuk pakan ikan patin karena pembudidaya ikan di KJA di Waduk Jatiluhur sebagian besar menerapkan sistem budidaya ikan secara polikultur dengan komoditas ikan mas, nila dan patin. Namun sayangnya, di daerah Astap, ikan-ikan mas dan nila yang mati dibuang begitu saja ke perairan terbuka karena tidak ada ikan patin yang dibudiayakan. Kondisi tersebut menyebabkan waduk terlihat kotor karena banyak ikan-ikan mati yang mengambang di KJA.
Beberapa lokasi lainnya seperti di Zona 3, Zona 5 dan Zona 5 relatif belum terjadi kematian massal ikan walaupun kondisi ikan mas yang dibudidayakan sudah mulai menunjukkan gejala megap-megap atau tampak berada di permukaan untuk bernafas. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan terjadi kematian massal susulan apabila ikan tersebut tidak diberikan perlakuan aerasi atau dipanen lebih dini karena dengan kondisi cuaca yang masih mendung sepanjang hari berpotensi untuk terjadinya umbalan yang membawa lapisan air yang defisit oksigen serta mengandung zat-zat beracun.
Hasil pengukuran kualitas air selama survei lapangan menunjukkan bahwa kadar DO di titik pengamatan umumnya berada di bawah Baku Mutu Air Kelas III dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air. Rata-rata kadar DO selama survei adalah sebesar 1,34 ±1,023 mg/l dan nilainya bervariasi tergantung kedalaman (Gambar 3). Di daerah Citerbang, Tegal Laja dan Astap bahkan kedalaman di permukaan hingga kedalaman 3 m sudah di bawah 1 mg/l. Nilai baku mutu DO untuk usaha budidaya ikan (Kelas III) adalah 3 mg/l dan nilai DO di lokasi relatif lebih rendah dari 3 mg/l sehingga kualitas perairan pada kejadian kematian massal ikan ini kurang layak.

Gambar 3. Kadar DO di lokasi survei (1 Februari 2021)
Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar DO < 2 mg/l dapat mengakibatkan kematian ikan sehingga kematian massal ikan di KJA di Waduk Jatiluhur memang disebabkan oleh deplesi DO. Kadar DO yang menurun secara drastis akan menyebabkan ikan langsung mengalami kematian. Kadar DO yang rendah juga memicu tingginya tingkat toksisitas (daya racun) beberapa zat seperti amoniak, H2S dan lain-lain sehingga dengan adanya umbalan yang disertai dengan rendahnya kadar DO akan berkolaborasi menjadi penyebab utama kematian massal ikan di KJA di Waduk Jatiluhur. Kondisi tersebut bisa semakin diperparah jika terdapat gelontoran air keluar dari Waduk Cirata yang masuk ke dalam inlet Waduk Jatiluhur yang biasanya mengandung kadar H2S dan DO yang sangat rendah.
Berdasarkan nilai potensi reduksi oksidasi (ORP) selama pengamatan, terlihat bahwa nilai ORP di daerah Citerbang dan Astap yang mengalami kematian massal paling parah cenderung menunjukkan nilai negatif mulai kedalaman 1 m. Nilai ORP yang negatif biasanya menunjukkan kondisi perairan yang bersifat anaerob. Dalam kondisi tersebut, daya toksik zat-zat beracun akan semakin meningkat. Beberapa lokasi yang nilai ORP-nya masih positif seperti di Zona 3, Zona 5 dan Cilalawi cenderung masih bersifat aerob sehingga relatif belum terlalu parah mengalami dampak umbalan yang menyebabkan kematian massal ikan seperti di daerah Citerbang dan Astap. Walaupun demikian, prinsip kehati-hatian perlu diterapkan mengingat jika kondisi cuaca di sekitar Waduk Jatiluhur masih mendung dan hujan selama beberapa hari ke depan dikhawatirkan akan memicu umbalan yang kemudian berdampak pada kematian massal ikan.

Gambar 4. Kadar ORP di lokasi survei (1 Februari 2021)
Fenomena umbalan yang menyebabkan kematian massal ikan yang terjadi setiap tahun tersebut oleh Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) telah dibuat Kalender Prediksi Kematian Ikan Massal di Waduk Ir. H. Djuanda. Berdasarkan kalender tersebut dimana pada sekitar bulan November hingga Maret merupakan kategori merah (Gambar 5) dimana peluang terjadinya kematian massal ikan di Waduk Jatiluhur cukup tinggi. Oleh karena itu, apabila terjadi fenomena kematian massal ikan pada bulan-bulan tersebut adalah suatu hal yang biasa. Permasalahannya adalah banyak pembudidaya ikan di KJA yang tidak mengikuti saran yang diberikan sehingga kerugian yang timbul akibat adanya kematian massal menjadi lebih besar. Beberapa saran tersebut antara lain:
- Segera melakukan pemanenan ikan yang siap panen,
- Menghentikan kegiatan budidaya atau mengurangi padat tebar ikan dan memperhatikan ukuran ikan yang ditebar,
- Memelihara ikan yang tahan terhadap kondisi perairan yang kurang baik seperti patin.
- Persiapan pengolahan pascapanen untuk mengantisipasi terjadinya kematian massal.

Gambar 5. Kalender Prediksi Kematian Ikan Massal di Waduk Ir. H. Djuanda